Skripsi: antara Ada dan Tiada

Langkatoday.com – Dunia akademik, terutama pada perguruan tinggi, akhir-akhir ini dihebohkan dengan berseliwerannya berita terkait narasi ”skripsi dihapus”, ”skripsi dihilangkan”, dan lain-lain.

Pangkal dari gonjang-ganjing ini adalah terbitnya Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan dalam rangka Mentransformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi. Ada yang sorak gembira, ada yang kecewa, tidak sedikit pula yang gagal paham dalam menelaah peraturan baru tersebut.

Pada Pasal 19 Permendikbudristek No 53/2023 disebutkan, ”Mahasiswa sarjana maupun sarjana terapan dapat diberikan tugas akhir dalam bentuk selain skripsi, seperti prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun berkelompok; atau penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis”.

Kebijakan baru ini sebenarnya adalah bagian dari keberlanjutan dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dan ini pasti akan berefek kepada perubahan pakem institusi pendidikan tinggi. Keberadaan skripsi yang selama ini seolah-olah one size fits all mendadak diubah menjadi made to order, dan ini berlaku secara nasional.

Pentingnya Skripsi

Skripsi memang sudah cukup lama menjadi momok yang ”ngeri-ngeri sedap” bagi mayoritas mahasiswa, bahkan warung dengan tulisan ”ayam crispy” bisa berubah menjadi ”ayam skripsi” jika dilihat oleh mahasiswa semester akhir. Belum kalau bertemu dosen yang galak dan susah ditemui, padahal batas waktu sudah mendekati terminal DO (drop out). Maka, tidak heran kalau joki skripsi laris manis dan dianggap menjadi dewa penolong di saat genting seperti itu.

Pada hakikatnya skripsi tidaklah semenakutkan itu, tidak butuh menjadi genius untuk selesai dalam mengerjakan skripsi. Cukup rajin dan ulet adalah koentji. Skripsi itu memang penting. Buktinya selama puluhan tahun bertahan diterapkan dan menjadi syarat wajib untuk meraih gelar sarjana.

Pada hakikatnya skripsi tidaklah semenakutkan itu, tidak butuh menjadi genius untuk selesai dalam mengerjakan skripsi. Cukup rajin dan ulet adalah koentji.

Skripsi mendidik kita apa yang disebut dengan ”pola pikir/mindset” yang ilmiah, mampu menyelesaikan masalah dengan sistematis dan saling berkorelasi. Skripsi umumnya dimulai dengan Bab 1: pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian/pembahasan, diakhiri dengan Bab 5: penutup/kesimpulan.

Hal positif lain dari skripsi adalah kita akan dibawa terbiasa dengan literasi sehingga dalam implementasi kehidupan bisa terhindar dari berita hoaks dan misleading informasi. Begitu pentingnya skripsi, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bukan berarti menjadi penghalang dalam membuat gebrakan batu loncatan pendidikan kita ke level yang lebih tinggi.

Antara Idealisme dan Pragmatisme

Revolusi pendidikan adalah keniscayaan, bahkan Plato pernah berkata, ”Tidak ada yang lebih berharga daripada pendidikan. Hanya melalui pendidikan seseorang benar-benar menjadi manusia.”

Kebijakan lama yang mengharuskan skripsi sebagai syarat kelulusan ternyata memiliki efek samping, yaitu membelenggu kebebasan berekspresi mahasiswa dalam hal olah ketajaman akademik. Ini karena di dalam perilaku mahasiswa terdapat dua macam tipe secara umum. Pertama, orang yang menyukai teoretis, dan yang kedua adalah orang yang lebih suka ilmu praktik/terapan.

Keberadaan wajib skripsi selama ini seolah-olah hanya memberikan privilese kepada orang yang suka teoretis/saintis dan kurang ada ruang bagi orang yang suka terapan. Celah ini ditutup Mas Menteri Nadiem dengan melahirkan Permendikbudristek Nomor 53/2023 sehingga semua pihak yang berkepentingan bisa terakomodasi dengan baik.

Kita menginginkan menjadi negara maju, tetapi fakta yang terjadi di lapangan sering berkata lain. Kita lebih sering berkutat pada idealisme teoretis yang erat kaitannya dengan perangkap birokrasi benang kusut. Segala proses kebijakan berjalan sangat lambat karena terlalu banyak melibatkan pihak-pihak yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan program tersebut. Begitu kebijakan mau dieksekusi, ternyata masih harus dihadapkan lagi kepada lembaga lain di atasnya secara berlapis.

Keberanian dan pragmatisme Kemendikbudristek dalam hal ini saya acungi jempol demi revolusi pendidikan, senada dengan arahan Presiden Jokowi yang selalu menekankan pemimpin harus berani. Pendidikan yang bagus akan menjadi lokomotif penggerak negara kita segera keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah.

Dengan terbitnya Permendikbudristek No 53/2023, otomatis bola panas digelindingkan kepada perguruan tinggi (PT). Peraturan yang sudah dibuat di tingkat kementerian muaranya adalah diserahkan kepada PT terkait pelaksanaannya. Begitu besarnya kebebasan yang diberikan menjadikan dilema bagi PT jika tidak siap dengan skema baru. Bagaimana PT harus bersikap? Parameter apa yang akan dipakai untuk standar kompetensi? Dengan banyaknya macam luaran tugas akhir, bagaimana menjaga kualitas lulusannya?

Kita sadar bahwa infrastruktur pendidikan dari hulu sampai hilir tidaklah merata. Banyak PT yang memiliki kekurangan sehingga akan kesulitan untuk penyamaan standar. Satiran ”pekerjaan dosen tidak ada habisnya”, tugas pokok saja belum kelar, sudah ditambah lagi harus memikirkan bagaimana menerapkan pengganti skripsi tanpa mengurangi kualitas output-nya. Belum lagi adanya narasi ”tanpa skripsi, kemudian apa bedanya antara lulusan D-3, D-4, ataupun S-1?”

Begitu besarnya kebebasan yang diberikan menjadikan dilema bagi PT jika tidak siap dengan skema baru.

Bias dan ketimpangan ini dikhawatirkan akan membuat perguruan tinggi menjadi tidak mau ribet dan memilih jalan pintas dengan tetap mewajibkan skripsi bagi mahasiswanya sehingga peraturan menteri menjadi kurang berdampak alias menjadi layu sebelum berkembang.

”Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri”. Pemerintah terlihat sudah berupaya mengikuti zaman untuk memajukan pendidikan yang tecermin dari kebijakan barunya. Namun, perlu diingat, dengan menghilangkan satu hal, harus mengganti dengan hal lain sehingga terbentuk ekuilibrium baru sebagai kompensasinya, serta memiliki asas ekualitas.

Tidak ada gading yang tak retak. Setiap kebijakan pastilah ada kekurangannya. Namun, jika peraturan tersebut dilaksanakan dengan komprehensif dan tidak setengah-setengah, kans untuk sukses akan besar. Namun, sebaliknya, jika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, saya khawatir Merdeka Belajar akan menjadi slogan belaka.

Sistem pendidikan MBKM saya ibaratkan kapal induk raksasa yang sedang berlayar. Jika arah kapal benar, kapal akan susah digoyang untuk dibuat belak-belok. Namun, jika ternyata kapal salah arah, akan sangat sulit untuk dipulihkan.

Hal itu bisa menjadi bumerang. Mahasiswa menjadi asal dapat gelar, tidak memiliki skill alias pepesan kosong karena tumpulnya nilai kepakaran, tidak ada link and match antara kelulusan dan lapangan pekerjaan, mengakibatkan kembali menjadi kaum rebahan tidak produktif yang hobinya menonton Tiktok/Instagram atau bermain gim. Jika terjadi, efek domino ini sangatlah menyeramkan.

Semoga akan ada evaluasi lanjutan dari pemerintah dengan cara aktif mendengarkan masukan dari para pelaksana di akar rumput. Kalaupun ada kekurangan, bisa segera tahu dan langsung ditambal. Saya ingatkan kembali bahwa skripsi ”tidak dihapus”, tetapi bisa disubstitusi dengan skema lain.

Sumber: kompas

Bacaan Lainnya: