Evolusi Dinasti Politik dan Pemilu 2024

LANGKATODAY.comDinasti politik berevolusi dengan cepat dari yang kita perkirakan. Tak butuh waktu lama bagi generasi kedua dinasti politik untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan di pusat ataupun daerah.

Evolusi cepat ini mengubah struktur dan komposisi elite dan level kompetisi politik. Sistem kepartaian yang lemah, kesempatan politik yang terbuka, serta akses kekuasaan dan ekonomi menopang tumbuh suburnya dinasti politik. Para elite dari dinasti politik berhasil mengonsolidasikan diri dan berekspansi ke banyak partai dengan modal popularitas serta akses politik dan ekonomi.

Lebih dari satu dekade belakangan, kita melihat para elite dari dinasti politik berhasil melakukan regenerasi pada saat elite dari generasi awal tengah menjabat. Demokrasi kita seperti mundur ke titik terendah sejak reformasi. Partai yang seharusnya menjadi lokus kompetisi politik justru tidak kompetitif.

Sistem kepartaian yang lemah dan miskin inovasi membuat partai terdorong untuk mencari tokoh populer untuk bisa bertahan dari kompetisi yang ketat. Partai rela memburu para tokoh populer hanya untuk kebutuhan jangka pendek menghadapi pemilu.

Sistem kepartaian yang lemah, kesempatan politik yang terbuka, serta akses kekuasaan dan ekonomi menopang tumbuh suburnya dinasti politik.

Dua Debat

Beberapa studi merujuk dinasti politik pada pejabat yang terpilih saat keluarganya tengah menjabat di pemerintahan, baik saat ini atau di masa lalu (Cruz dan Mendoza, 2015). Secara umum, ada dua pola dari dinasti politik, yaitu anggota keluarga yang mengisi jabatan-jabatan yang sama yang pernah diisi oleh anggota keluarga, atau keluarga yang mengisi suatu jabatan secara bersamaan pada saat anggota keluarganya tengah menjabat (Albert, dkk, 2015).

Dalam merespons diskursus politik dinasti, ada dua pandangan yang terbelah. Ada kelompok yang beranggapan bahwa dalam negara yang demokratis, semua orang punya kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dalam kompetisi politik. Para pendukung argumen ini mengambil contoh sejumlah negara demokratis seperti AS dan India, yang memperlihatkan anak-anak dari keluarga Bush, Kennedy, dan Gandhi terpilih melalui pemilihan yang demokratis.

Kelompok lain berargumen lebih kritis. Bagi kelompok ini, elite dinasti politik tak melewati proses regenerasi politik dan hanya menikmati akses politik dan ekonomi dari keluarga generasi pertama. Masuknya elite dari dinasti politik juga dianggap tak menciptakan ruang kompetisi politik yang setara dan adil.

Di tingkat global, terutama negara-negara di Amerika Latin, sejak lama sudah ada kecenderungan untuk membatasi politik dinasti. Studi Cruz dan Mendoza (2015) menunjukkan, level demokratisasi negara-negara di Amerika Latin mengalami peningkatan setelah mengadopsi kebijakan antipolitik dinasti.

Aturan yang paling lama berasal dari konstitusi Kosta Rika tahun 1949 yang melarang keluarga dari mantan presiden dan wakil presiden maju pada jabatan pemerintahan tertinggi dan juga melarang anggota keluarga dua tingkat di bawahnya untuk maju dalam pemilihan legislatif. Bahkan, dalam konstitusi terbaru, capres dan cawapres tidak dapat berasal dari anggota keluarga (hubungan darah/pernikahan) dari presiden yang tengah menjabat atau pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden.

Sebagian besar negara-negara di Amerika Latin mengadopsi pengetatan/pelarangan bagi dinasti politik sejak terjadinya gelombang ketiga demokratisasi. Honduras mengadopsinya tahun 1982, diikuti El Salvador (1983), Guatemala (1985), Nikaragua (1987), Brasil (1990), Kolombia (1991), dan Paraguay (1992).

Di Indonesia, tahun 2015, pemerintahan Joko Widodo yang baru berumur satu tahun mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dalam revisi, ada klausul yang melarang anggota keluarga dari dinasti politik maju di pilkada, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Pada Pasal 7 tentang huruf r dalam UU itu disebutkan syarat calon kepala daerah haruslah ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”, yaitu tak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. Usaha pemerintah dan DPR untuk membuat politik yang inklusif terbentur palu Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan untuk membatalkan pasal antipolitik dinasti dan hal ini akhirnya menjadi pintu masuk berakarnya dinasti politik di Indonesia.

Dalam revisi, ada klausul yang melarang anggota keluarga dari dinasti politik maju di pilkada, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Struktur Elite

Pertanyaannya, kenapa dinasti politik bisa bertahan dan berkembang? Temuan Kenawas (2015) menunjukkan bahwa faktor kekuatan jaringan informal keluarga dan kemampuan dalam mengakumulasi modal dalam kompetisi dengan mengandalkan status anggota keluarga sebagai petahana membuat dinasti politik yang bertahan pada tingkat daerah.

Bahkan, saat ini jumlah dinasti politik di Indonesia tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan tahun 2010 dan 2018 (Kenawas, 2023). Beberapa studi berkesimpulan, semakin lama seseorang menjabat atau berada di kekuasaan, semakin berpeluang membangun dinasti politik (Dal Bo, Dal Bo, dan Synder 2009; Coppenolle, 2017).

Meningkatnya jumlah politikus dari keluarga dinasti membuat perubahan yang besar dalam struktur elite di Indonesia. Elite pengusaha-politik yang menguat tahun 2000-an saat ini digeser oleh elite politikus dinasti. Sementara, elite politik yang berasal dari kelompok aktivis, profesional, dan akademisi, jumlahnya terus menurun. Hal ini disumbang oleh keterbatasan modal, rendahnya popularitas, hingga mahalnya biaya politik, akibat penggunaan sistem proporsional terbuka di pemilu legislatif.

Pada awalnya, dinasti politik berkembang di daerah sejak keran demokratisasi dibuka tahun 1998-1999. Elite-elite lokal yang punya akses pada kekuasaan lama berhasil mengonsolidasikan diri dengan cepat. Dengan sumber daya ekonomi yang kuat dan jaringan politik yang terbangun lama, para elite dinasti politik berhasil menjadi ”elite baru” di daerah dan lalu merangkak ke tingkat pusat.

Elite dari dinasti politik memiliki kecenderungan untuk ”berkarier” pada daerah yang sama dengan generasi awal. Hal tersebut lebih memudahkan untuk mendapatkan dukungan publik dan suara dalam pemilihan karena sudah memiliki pendukung yang loyal.

Kasus yang paling kentara, misalnya, keluarga Duterte. Rodrigo Duterte adalah mantan presiden Filipina yang membangun karier politik mulai dari anggota kongres, wakil wali kota dan wali kota, hingga menjadi presiden. Ia pernah menjadi wali kota di Davao, kota dengan populasi terbesar kelima di Filipina.

Saat menjadi presiden, anaknya, Sara, menjadi wali kota di tempat yang sama. Pada 2022, Sara yang masih menjadi wali kota maju menjadi cawapres saat Duterte masih menjabat presiden. Sara, yang berpasangan dengan Bong Bong, putra Ferdinand Marcos—diktator yang ditumbangkan dalam people power 1986—menang dengan angka 58,7 persen.

Risiko

Pertanyaannya: apakah pilihan Presiden Joko Widodo ”merestui” Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga putranya, akan memiliki risiko politik atau tidak? Bila iya, seberapa besar risikonya dan apakah dampaknya?

Risiko ini dipengaruhi oleh tiga kondisi. Pertama, respons publik terhadap isu politik dinasti yang menyeruak, terutama setelah putusan MK yang dianggap sebagian orang janggal. Jika terjadi eskalasi ketidakpuasan publik terhadap hal ini, mungkin akan jadi kabar buruk bagi dukungan publik pada Gibran.

Kedua, risiko dari sisi kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan. Survei teranyar Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan turunnya persentase publik yang mengatakan situasi ekonomi dan penegakan hukum dalam kondisi baik. Survei LSI (Oktober 2023) menemukan persentase ekonomi baik turun dari 28,7 persen ke 23,3 persen, sementara responden yang mengatakan situasi ekonomi memburuk naik dari 26,4 persen ke 32,9 persen.

Jika terjadi eskalasi ketidakpuasan publik terhadap hal ini, mungkin akan jadi kabar buruk bagi dukungan publik pada Gibran.

Jika terjadi eskalasi ketidakpuasan terhadap dinasti politik, bukan tak mungkin ketidakpercayaan pada pemerintah juga akan menurun, dan ini tentu akan memengaruhi legacy politik dari pemerintah Jokowi yang sudah terjaga dengan baik sejak periode pertama.

Ketiga, risiko berhadapan secara langsung dengan PDI Perjuangan (PDI-P). Sebagai kader dan presiden yang diusung sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode presiden, tentu pilihan Jokowi berhadapan secara langsung dengan PDI-P, tak menguntungkan secara politik.

Menguatnya peran elite dinasti politik tentu menjadi tantangan dalam pembangunan demokrasi Indonesia ke depan, terutama dalam menyediakan ruang kompetisi yang setara dan potensi meningkatnya korupsi politik (Rahman, 2013). Di tingkat global, inisiatif untuk membatasi politik dinasti sudah muncul sejak lama dan menjadi tren, terutama di negara-negara Amerika Latin.

Meskipun persepsi terhadap politik dinasti sering kali negatif, dalam sejarahnya beberapa dinasti berkontribusi bagi pembangunan demokrasi dan pembangunan, seperti keluarga Kennedy dan Rockefeller, di AS. (rel/kompas)

Bacaan Lainnya: