P2G Kritik Putusan MK Perbolehkan Kampanye Politik di Sekolah

Langkatoday.com – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan adanya kampanye di ruang pendidikan dan pemerintahan.

Melalui putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023, MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan seperti sekolah dan kampus sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.

Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan keputusan tersebut dapat menganggu proses belajar siswa.

“Kami khawatir dengan putusan tersebut, akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas mengganggu pembelajaran,” ungkapnya, dari rilis resmi P2G.

P2G mengkritisi amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 bahwa Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang berbunyi:

“menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Iman mengatakan, ayat tersebut bisa menimbulkan banyak masalah. Contoh, penggunaan gedung sekolah untuk kampanye Pemilu. Kepala sekolah akan sulit menolak apalagi jika diperintahkan secara struktural dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan dinas pendidikan setempat.

Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu, maka itu akan membahayakan sekolah. Dampak lain yang bisa membuat masalah, adalah adanya celah kebocoran anggaran pendidikan untuk politik.

“Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi Pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah (anggaran pendidikan),” kata Iman.

P2G mempertanyakan mengapa perlu fasilitas pendidikan ikut dikecualikan MK agar bisa digunakan, padahal masih banyak fasilitas pemerintah lainnya yang dapat digunakan.

“Memang tidak ada tempat lain? Kenapa Pemilu malah harus menggunakan lahan dan gedung sekolah atau fasilitas pendidikan? Kan masih banyak fasilitas pemerintah lainnya. Jangan pendidikan dikorbankan,” jelas guru honorer ini.

Beban politik bagi sekolah P2G sangat mengkhawatirkan keputusan MK ini akan membahayakan kepentingan siswa, guru, dan orangtua.

Mau tidak mau, kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi Pemilu atau sosialisasi kandidat dan pastinya akan menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.

“Bayangkan ada Pemilu dan Pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa, dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang-ruang belajar,” Kata dia.

Menurut P2G, siswa, guru, dan warga sekolah akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat. Ia menilai hal ini bukan lagi pendidikan politik melainkan mobilisasi politik yang akan berdampak buruk. Kondisi demikian juga membuat rentan terjadinya bullying di sekolah, saat sekolah jadi ruang kampanye Pemilu.

“Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain, rentan akan dirundung oleh teman-temannya, apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas,” Imbuh Iman.

Sementara itu, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G, Feriyansyah menyebut di lingkungan pendidikan yang dibutuhkan adalah edukasi politik. Pendidikan politik itu bagus, namun bukan malah menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat Pemilu saja. Apalagi yang perlu ditekankan dalam edukasi politik adalah netralitas ASN dalam Pemilu dan kampanye.

“Misal, keterkaitannya dengan netralitas ASN. Potensi pejabat atau atasan memobilisasi ASN pada kandidat atau partai tertentu, dan kalau memang terpaksa menggunakan sarana prasarana sekolah dan lembaga pendidikan, harus diperhatikan transparansi dan akuntabilitasnya,” kata Feriyansyah.

Selain itu ia menilai fasilitas pendidikan bagi Pemilu akan menjadi memori kuat warga sekolah (guru, tenaga pendidik, dan peserta didik) bahwa politik hanya menjadi beban saja.

“Memori bahwa politik hanya praktik kepentingan setiap Pemilu saja, adalah memori yang tidak mendidik. Ini yang tidak kita harapkan,” tambah Feriyansyah.

Ia mengatakan negara-negara maju seperti Eropa Utara dan Amerika Utara tidak mempraktikkan kampanye politik elektoral di sekolah.

“Pendidikan politik jangan diartikan dengan sekolah dan madrasah menjadi ajang kampanye politik praktis. Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah,” tutup Feriyansyah.

Bacaan Lainnya: