Gen Saladin | @gen.saladin | t.me/gensaladin
Langkatoday.com, Stabat – Shalahuddin, nama itu kita kenang dengan megah dan indah di hati. Sosok pahlawan yang terkenal dengan kalimatnya, “bagaimana bisa aku tersenyum, sementara Al Quds terjajah?”
Namun kali ini ada sebuah kisah tentang beliau yang jarang kita dengar. Kisah tentang azamnya untuk berhaji, yang tertunda sebab beliau tak punya biaya. Begini kisahnya…
Setelah melakukan perjuangan panjang membebaskan setiap jengkal bumi suci Palestina, Shalahuddin memutuskan untuk melakukan perjalanan haji. Ia berniat haji di tahun 588 Hijriah (1192 M), tepat setelah menyepakati gencatan senjata antara beliau dan Raja Richard The Lionheart dari Inggris.
Gencatan senjata itu bernama perjanjian Ramla, dan isinya adalah kesepakatan bahwa Baitul Maqdis tetap berada di tangan Kaum Muslimin tapi umat Kristen diizinkan untuk menziarahinya. Kemudian yang kedua; Tentara salib akan tetap mempertahankan pantai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.
Perjanjian itu telah disepakati, dan niat Shalahuddin untuk haji pun semakin meninggi. Namun kondisi keuangan pribadinya ternyata tak memungkinkannya untuk berangkat. Para menteri dan orang-orang dekat Shalahuddin memberi tahu bahwa kas pribadi Shalahuddin telah sampai ke status di bawah garis kemiskinan. Kas negara pun sedang menipis, karena banyak sekali yang digunakan untuk berjihad melawan pasukan Salib.
Akhirnya, para penasihat Shalahuddin memberi saran untuk menunda haji tahun depannya lagi. Setidaknya ada 2 pertimbangan mengapa niat haji itu perlu ditunda. Pertama, agar Shalahuddin dan kafilah yang dipimpinnya bisa datang berhaji ke Makkah sekaligus menyantuni para faqir di kota suci. Yang kedua, adalah karena Richard —pemimpin pasukan Salib— dikhawatirkan akan menyerang Baitul Maqdis selagi Shalahuddin berangkat haji.
Akhirnya Shalahuddin menunda niat hajinya meski rindu telah berbuncah ingin bertamu ke Baitullah dan berziarah ke Kota Rasulullah ﷺ. Beliau tetap melakukan tugasnya sebagai kepala negara: melepas jama’ah haji pada bulan Dzulqa’dah 588 Hijriah, dan menyambut mereka lagi setelah pulang haji pada bulan Shafar di tahun yang sama.
Namun titah Allah berkata lain. Allah telah menyiapkan takdir yang berbeda bagi impian Shalahuddin. Di bulan Shafar, setelah menyambut kedatangan jama’ah haji, Shalahuddin jatuh sakit. Di akhir bulan Shafar, Shalahuddin menghembuskan napasnya yang terakhir. Beliau wafat dalam keadaan tak ada uang yang cukup bahkan untuk dibelikan kain kafan. Maka orang-orang saling berinfaq untuk memenuhi kebutuhan jenazahnya.
Bayangkan, kawan. Shalahuddin, nama itu megah dan gagah, dikagumi musuh dan dicintai sahabat. Namun Shalahuddin, raja negeri kaya Mesir dan Syam itu, wafat dalam keadaan telah mendermakan dunianya sepenuhnya di jalan Allah. Impiannya untuk bertamu ke Baitullah, dibalas Allah dengan kesyahidan yang indah untuk langsung menghadap-Nya, berbaris bersama para syuhada dan pejuang kebenaran. Rahimahullah rahmatal abraar.
Sumber: Qanat Harakah At Tarikh, Prof. Dr Ali Muhammad Al Audah Al Ghamidi, Pakar Sejarah Perang Salib