The Real “Sad Man” yang Bukan Karena Cinta, Tapi Karena Terjajahnya Al Aqsha

Gen Saladin | @gen.saladin | t.me/gensaladin

“Saya punya perjuangan kalah dengan laki-laki glowing, sedangkan saya hanya lelaki yang sering smoking. Dia membeli Rx King, saya hanya membeli pancing”,

Itulah salah satu quote dari anak muda viral bernama Fajar yang digelari netizen dengan nama ‘Fajar Sadboy.’ Katanya, kisah cintanya berakhir kelam. Ditolak, diabaikan, dan malah viral karena wajah sedihnya itu.

Sepertinya ada banyak anak muda seperti itu di zaman ini. Mereka yang sedihnya karena putus cinta, sebab patah hati; lalu menulis lagu sendu dan puisi menyayat hati seakan begitu sulit mencari kesempatan lagi. Melihat realita itu, pandanganku tertoleh makin takjub dengan salah satu tokoh sejarah Islam yang satu ini: Shalahuddin Al Ayyubi. Kau tahu kenapa? Karena sepanjang waktu perjuangannya untuk membebaskan Al Aqsha, beliau sering terlihat sedih. Tapi, sedihnya bukan sekadar karena patah hati dan putus cinta.

Dalam Kitab ‘Al Masjidul Aqsha: Al Haqiqatu wat Tarikh’ dikisahkan, suatu hari ada seorang yang memberanikan diri bertanya langsung kepada Shalahuddin Al Ayyubi:

“wahai pemimpin kami, mengapa kami tak pernah melihatmu tersenyum?”

Perhatikan jawaban Shalahuddin Al Ayyubi yang menampar setiap kita di zaman ini:

“Bagaimana bisa aku tersenyum sementara Al Aqsha dijajah? Demi Allah, aku malu untuk tersenyum sementara di sana saudara-saudaraku disiksa dan dibantai.”

Suatu hari, lelaki yang begitu serius memperjuangkan bebasnya Masjid Al Aqsha ini juga pernah berkata

كيف يطيب لي الفرح والطعام ولذة المنام، وبيتُ المقدس بأيدي الصليبيين؟

“Bagaimana bisa aku merasakan kebahagiaan, lezatnya makanan dan nyenyaknya tidur sementara Baitul Maqdis ada di tangan pasukan Salib?”

Itulah yang membuat Bahaudin Ibnu Syaddad menulis tentang Shalahuddin:

“bagi Shalahuddin, perkara Baitul Maqdis adalah masalah yang sangat besar, tak akan bisa dipikul kecuali oleh orang-orang yang kokohnya seperti gunung. Beliau seperti seorang ibu yang sangat berduka; maka beliau bepergian mengajak orang demi orang, memanggil umat untuk berjuang dan air matanya mengalir.” (An Nawadir As Sulthaniyah)

Ketika Palestina menyentuh hatimu, kamu akan sadar hidup ini terlalu mahal untuk terlena saja.

Kita menangis untuk Palestina bisa jadi bukan karena kita kasihan, tapi karena kita malu. Bukan karena kita iba, tapi karena kita cemburu. Ya, cemburu untuk menggantikan posisi mulia mereka. Namun, kemudian kita menangis lagi karena pertanyaan selanjutnya:

“Apakah kita sanggup melakukannya?”

Referensi:
1. Al Masjid Al Aqsha: Al Haqiqah wat Tarikh.
2. An Nawadir As Sulthaniyah Wal Mahasin Al Yusufiyyah

Informasi dan kerjasama bisa dikirim via e-mail: [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Rekomendasi untuk Anda:
%d blogger menyukai ini: