Scroll untuk baca artikel
Banner IDwebhost
Iklan
BeritaHukum

Skandal Rp797 Miliar! Bos Sawit Langkat Dihukum 10 Tahun Gara-Gara Jarah Hutan Lindung

91
×

Skandal Rp797 Miliar! Bos Sawit Langkat Dihukum 10 Tahun Gara-Gara Jarah Hutan Lindung

Sebarkan artikel ini
Terdakwa Alexander Halim alias Akuang penjual hutan konservasi SM. Karang Gading, Langkat mendengarkan pembacaan putusan majelis hakim Pengadilan tipikor di PN Medan. Foto: BBKSDA Sumut
channel whastapp langkatoday

Medan, Langkatoday – Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan, Sumatera Utara, menjatuhkan vonis bersalah kepada Alexander Halim alias Akuang, pemilik Koperasi Sinar Tani Makmur, serta Imran, mantan Kepala Desa Tapak Kuda, Langkat. Keduanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi alih fungsi kawasan Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading menjadi perkebunan sawit dan tambak.

Dalam sidang pada Senin (11/8/2025), hakim menghukum keduanya 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, Akuang diwajibkan membayar uang pengganti Rp797,6 miliar sebagai kerugian negara. Imran dinilai tidak ikut menikmati keuntungan, sehingga tidak dibebani hukuman tambahan.

Kasus ini bermula sejak 2013 ketika Akuang meminta Imran menerbitkan surat keterangan tanah untuk jual beli di kawasan konservasi tersebut. Modus itu berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya penyidik Kejari Langkat menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 2024. Sedikitnya 57 sertifikat hak milik (SHM) terbit di atas hutan konservasi melalui BPN Langkat.

ratusan hektar sawit di tanam di SM Karang Gading dan merusak ekosistem mangrove. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia.

Ahli dari Kementerian Kehutanan menegaskan, alih fungsi SM Karang Gading menyebabkan kerusakan parah pada hutan mangrove, hilangnya keanekaragaman hayati, serta berkurangnya stok karbon yang bernilai ekonomis. Analisis citra satelit juga menunjukkan kawasan yang semula hutan alami beralih fungsi menjadi kebun sawit sejak 2009.

Persidangan juga mengungkap lemahnya peran BPN. Meski BBKSDA Sumut telah mengirimkan surat larangan penerbitan sertifikat, faktanya puluhan SHM tetap keluar. Surat pemblokiran yang dikeluarkan Kepala BPN Langkat saat itu bahkan hanya ditempel di dinding kantor tanpa dicatat resmi dalam buku tanah.

Kuasa hukum Akuang, Dedi Suheri, menolak putusan tersebut. Ia menilai tanah kliennya sah secara hukum karena memiliki SHM, sudah membayar PBB hingga 2024, dan tidak pernah ada pembatalan resmi. Dedi juga mempertanyakan mengapa pejabat BPN yang menerbitkan sertifikat tidak ikut dijadikan tersangka.

Kasus ini sekaligus membuka kembali persoalan klasik soal tumpang tindih hukum kehutanan, tata ruang, serta peran lembaga pertanahan dalam praktik perambahan kawasan konservasi di Indonesia. (mongabay)