Scroll untuk baca artikel
Banner IDwebhost
Iklan
Nasional

DPR Naik Gaji, Guru Ngaji Tetap Bertahan Hidup dengan Rp100 Ribu per Bulan

390
×

DPR Naik Gaji, Guru Ngaji Tetap Bertahan Hidup dengan Rp100 Ribu per Bulan

Sebarkan artikel ini
Pembaruan/Jurnasyanto Sukarno GEDUNG BARU - Anggota DPR RI mengikuti sidang paripurna pertama setelah reses akhir tahun di gedung baru Ruang SIdang Paripurna Nuasantara II, Komplek Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (10/01/04). Dalam sidang ini dibahas masalah restruktrusisasi Aceh yang porak poranda karena bencana gempa dan tsunami.
channel whastapp langkatoday

Jakarta, Langkatoday – Kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI hingga menembus lebih dari Rp100 juta per bulan kembali memicu polemik. Di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran negara, langkah ini justru menimbulkan luka bagi rasa keadilan publik.

Bagaimana tidak, para wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung aspirasi justru hidup dengan fasilitas mewah, sementara rakyat yang mereka wakili masih berkubang dalam kesenjangan kesejahteraan.

Salah satu potret nyata ketidakadilan itu dapat dilihat dari nasib guru ngaji. Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar pernah mengungkapkan bahwa dari 928 ribu guru ngaji di Indonesia, sekitar 40 persennya hanya mendapat bayaran Rp100 ribu per bulan. Jumlah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

“Apakah orang bisa hidup dengan 100 ribu rupiah per bulan? Itulah nasib guru ngaji,” kata Nasaruddin, yang kutipannya kini kembali relevan ketika publik menyoroti naiknya tunjangan rumah anggota DPR hingga Rp50 juta per bulan.

Memang, ada sebagian guru ngaji yang cukup beruntung karena terdata dalam program bantuan sosial atau zakat. Seperti di Kabupaten Serang, Baznas menyalurkan Rp500 ribu untuk 2.000 guru ngaji dan guru madrasah. Namun, nilai tersebut tetap tidak sebanding dengan jerih payah mereka dalam mendidik generasi bangsa.

Kesenjangan yang Menyayat Rasa Keadilan

Jika ditotal, setiap anggota DPR bisa membawa pulang pendapatan sedikitnya Rp54 juta per bulan dari gaji dan tunjangan rutin, di luar berbagai fasilitas lain, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, perjalanan dinas, hingga dana aspirasi. Angka ini menempatkan mereka dalam jajaran elit dengan pendapatan fantastis, sementara jutaan rakyat masih berjuang mengais rezeki untuk sekadar bertahan hidup.

Kontrasnya mencolok. Guru ngaji, yang menjadi ujung tombak pendidikan moral dan spiritual, hanya menerima ratusan ribu rupiah. Sementara wakil rakyat yang semestinya memperjuangkan mereka, hidup dalam kenyamanan yang dibiayai uang pajak rakyat.

Saatnya Introspeksi

Pertanyaan mendasar pun muncul: untuk siapa sebenarnya kekuasaan dan fasilitas itu diberikan? Apakah demi kepentingan rakyat atau demi memperkaya segelintir elit?

Kesejahteraan guru ngaji bukan hanya soal nominal, tetapi juga tentang penghormatan terhadap peran mereka dalam membentuk karakter bangsa. Negara yang gagal menghargai guru ngaji, sesungguhnya sedang meremehkan nilai dasar pendidikan akhlak dan moral.

Kenaikan gaji DPR mungkin sah secara regulasi, tetapi secara moral, jelas melukai rasa keadilan. Jika benar DPR adalah rumah rakyat, maka sudah seharusnya suara rakyat kecil (guru ngaji, petani, buruh, dan pekerja informal) menjadi dasar dalam setiap kebijakan anggaran.

Tanpa itu, DPR hanya akan semakin jauh dari rakyat, dan rakyat hanya akan mengingat mereka sebagai elite yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak.