Jakarta, Langkatoday.com – Terungkap fakta baru kerusuhan 15 warga negera asing (WNA) China terlibat konflik berujung kerusuhan di Ketapang, Kalimantan Barat.
WNA China dari pekerja PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) sebelumnya disebut menyerang anggota TNI.
Direktur Utama PT SRM Li Changjin menyebut kejadian itu merupakan rumor dan kebohongan yang diduga sengaja disebarkan oleh pihak Firman dan Imran.
“Firman dan Imran secara ilegal menduduki lokasi pertambangan SRM dan tanah milik Pamar Lubis. Mereka menggunakan TNI, untuk menjaga kawasan SRM,” ujarLi Changjin melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/12).
Sayangnya, komandan TNI di Ketapang mempercayai rumor dan narasi kebohongan Imran tersebut tanpa melakukan penyelidikan mendalam secara tepat dan cermat, namun langsung mengirim tentara TNI tambahan untuk mengamankan seluruh pekerja teknis WNA China.
Li Chang Jin meminta pihak Mabes TNI AD harus mengadakan penyelidikan mengenai pemukulan ini. Apakah tentara yang mukul atau pekerja China yang melakukan pemukulan.
“Jika pekerja WNA China yang memukul, mana korbannya? Pihak pekerja China sudah pasti takut sama tentara, apa lagi melakukan pemukulan atau menyerang tentara,” katanya.
Sementara itu, para pekerja WNA China yang jadi korban penganiayaan berjumlah 9 orang. Mereka pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dikeluarkan kantor Imigrasi Ketapang.
Di mana dokumen izin tinggal sementara itu wajib dimiliki WNA untuk tinggal legal di Indonesia.
Untuk tuduhan penyerangan anggota TNI, Li Changjin menilai sama sekali tidak ada bukti signifikan yang mengarah bahwa anggota TNI diserang oleh pekerja Tionghoa.
“Justru para pekerja Tionghoa tersebut yang menjadi korban penganiayaan. Mereka dipukuli dan diinjak dalam truk, hingga mengalami luka-luka lebam di bagian punggung, dada dan paha,” katanya.
Para pekerja Tionghoa SRM bahkan tidak pernah menyentuh TNI saat terjadi insiden di area tambang emas PT SRM di Desa Pemuatan Batu, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, pada Minggu 14 Desember 2025 sekitar pukul 15.40 WIB.
“Tak ada bukti signifikan dalam video yang beredar memperlihatkan, pekerja teknis SRM merusak mobil dan menyerang anggota TNI. Tapi justru merekalah yang menjadi korban pemukulan saat dibawa menuju tempat imigrasi,” katanya.
Menurutnya, konflik terjadi antara Firman atau Imran dengan pekerja Tionghoa SRM karena mereka berusaha mengusir para pekerja dan berusaha memblokir mereka di luar lokasi pertambangan SRM.
Keberadaan anggota TNI di SRM dipertanyakan
Tidak hanya itu, Muchamad Fadzri kuasa hukum pihak Firman sebaiknya menghentikan penyebaran kebohongan kepada publik Indonesia dengan mengklaim bahwa pekerja Tiongkok SRM menyerang prajurit TNI dan mengklaim melakukan latihan dasar militer.
“Mengapa prajurit TNI melakukan latihan dasar militer di dalam area tambang SRM tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Area tambang SRM bukan wilayah militer, melainkan wilayah sipil,” kata Li.
Li Changjin menyebut bahwa sebagian pekerja Tiongkok tersebut telah bekerja di lokasi tambang SRM selama bertahun-tahun, jauh sebelum Firman dan Imran beserta kelompoknya secara ilegal menduduki lokasi tersebut.
“Para pekerja ini kemudian diusir secara paksa dengan kekerasan setelah terjadinya pendudukan ilegal,” ujarnya.
Di samping itu, Firman dan Imran tidak pernah mengeluarkan satu rupiah pun untuk proyek tambang SRM. Seluruh peralatan, fasilitas, modal, dan teknologi di lokasi SRM telah diinvestasikan selama lebih dari 10 tahun oleh Li Changjin dan Pamar Lubis, yang merupakan pemegang saham mayoritas SRM.
Pada Juli 2025, Firman, Imran, Suandi, dan Muardi diduga membuat Akta Anggaran Dasar palsu yang didaftarkan secara online melalui sistem AHU, dengan tujuan mencopot Li Changjin dari jabatan Direktur Utama dan Pamar Lubis dari jabatan Direktur, yang melanggar undang-undang Perseroan Terbatas.
Saat ini perkara tersebut sedang dalam penyelidikan oleh Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya.
Kronologi Kericuhan
Kericuhan terjadi pada Ahad (14/12) sekitar pukul 15.40 WIB, di Desa Pemuatan Batu, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang.
Menurut Li Changjin, peristiwa bermula ketika staf teknis berkewarganegaraan China mengoperasikan drone di area tambang.
Ia menegaskan, penerbangan drone dilakukan di dalam wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT SRM dan bukan di kawasan terlarang.
Namun situasi berubah ketika drone dan telepon seluler milik staf teknis tersebut disita oleh pihak keamanan perusahaan versi baru bersama prajurit TNI.
Bahkan, rekaman yang tersimpan di perangkat disebut sempat dihapus, sebelum akhirnya dikembalikan.
“Atas peristiwa tersebut, drone dan telepon seluler milik staf teknis kami sempat disita, sementara rekaman di dalam perangkat dihapus, sebelum akhirnya dikembalikan,” kata Li Changjin.
Ia menambahkan, tindakan penyitaan mendadak itu membuat staf teknis merasa ketakutan, terlebih karena kehadiran aparat dan pihak tertentu di lokasi tambang dinilai tidak jelas kepentingannya.
.png)





