STABAT, LANGKATODAY – Empat hari sudah Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, terendam banjir. Namun, hingga Ahad (30/11), bantuan pemerintah belum benar-benar berpijak di tanah yang kini berubah menjadi lautan keruh. Di balik genangan itu, kelaparan mulai mengetuk pintu rumah warga-perlahan, lalu memaksa.
Ifat (50), warga Jalan Merdeka, duduk memandangi arus deras yang menutup seluruh akses ke permukimannya.
“Belum ada bantuan masuk. Orang takut ke sini karena arusnya deras,” katanya.
Rumah-rumah warga di wilayah itu terkurung air setinggi pinggang hingga dada, membuat lokasi itu menjadi salah satu titik terisolasi di Langkat.
Karena perut tak bisa menunggu, Ifat nekat keluar dari kampungnya. Ia berjalan menembus arus, menyetop kendaraan menuju Stabat demi sekantong bahan pangan.
“Mau bagaimana lagi? Anak-anak harus makan,” ucapnya.

Penjarahan: Puncak Kekosongan Negara
Minimnya pangan membuat warga mengambil langkah yang mencerminkan situasi paling parah dalam sebuah bencana: penjarahan. Pada Sabtu malam, beberapa minimarket di pusat Tanjung Pura digeruduk warga yang tak lagi mampu menahan lapar.
“Kami terpaksa. Bantuan tak datang-datang,” ujar Baim, yang membawa plastik berisi sosis, air mineral, dan camilan. Ia mengaku tidak ada aparat yang menghentikan aksi itu.
Rak-rak yang kosong menjadi simbol paling telanjang tentang absennya pemerintah di hari-hari krisis. Bagi sebagian warga, sekantong yogurt lebih berarti daripada janji-janji bantuan yang tak jelas kapan tiba.
View this post on Instagram
Warga Bantu Warga
Hingga Ahad malam, bantuan yang benar-benar sampai ke warga masih berasal dari donatur pribadi, kelompok tani, komunitas, hingga aktivis lingkungan. Mereka menyusuri jalur-jalur yang bisa ditembus untuk mengantar mi instan, telur, minyak, makanan siap santap, sampai pakaian bekas.
“Tidak ada posko resmi, tidak ada tenda darurat,” kata Poniren (48), Sekretaris Desa Kwala Serapuh. Ia sudah menghubungi pemerintah daerah, tetapi jawaban yang datang hanyalah janji. Sementara itu, warga menghadapi satu risiko nyata: kelaparan.
Di Desa Pantai Cermin, warga bahkan membangun dapur umum dari sisa beras kilang padi. Sebab menunggu pemerintah, bagi mereka, sama dengan menunggu air surut: tak tahu kapan.
“Mesin” Pemerintah Bergerak di Tempat
Tim gabungan memang telah mengevakuasi 81 warga Pekubuan, Tanjung Pura, pada Ahad. Namun upaya itu belum sebanding dengan skala krisis. Data Basarnas mencatat ratusan warga di tiga provinsi—Sumbar, Sumut, dan Aceh—masih hilang.
“Pencarian dilakukan lewat darat, perairan, dan udara,” ujar Kepala Basarnas, Mohammad Syafii dilansir dari media Kompas.
BNPB menyebut fokus pemerintah saat ini adalah membuka akses ke Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Kota Sibolga.
“Di Sumut, 166 orang meninggal, 143 hilang,” kata Kepala BNPB Suharyanto.
Angka-angka itu menggambarkan situasi bencana, namun juga memperlihatkan betapa lambat roda tanggap darurat bekerja.
Warga Terisolasi Menempuh 8 Jam untuk Dapat Beras
Di Tapanuli Tengah, warga desa yang terputus aksesnya memilih berjalan kaki 3–8 jam menuju Adiankoting, Tapanuli Utara, untuk membeli beras. Mereka menuruni bukit, melewati patahan jalan, dan melompati jembatan darurat yang dibuat seadanya.
Di tengah bencana yang menelan korban ratusan jiwa ini, pejalan kaki yang menggendong beras tampak jauh lebih nyata daripada negara yang seharusnya hadir saat masyarakat paling membutuhkan pertolongan.


.png)





