Scroll untuk baca artikel
Sejasa Net
Iklan Bapenda Provsu
KampusKesehatan

Bangun Rumah Tangga Tanpa Kekerasan: Dosen Psikologi IKH Medan Latih Pasangan Muda Kelola Konflik

361
×

Bangun Rumah Tangga Tanpa Kekerasan: Dosen Psikologi IKH Medan Latih Pasangan Muda Kelola Konflik

Sebarkan artikel ini
channel whastapp langkatoday

MEDAN, LANGKATODAY  Kekerasan emosional (emotional abuse) menjadi salah satu bentuk kekerasan dalam hubungan yang paling sering terjadi namun kerap tidak disadari. 

Berangkat dari keprihatinan atas meningkatnya kasus tersebut, Miskah Afriani, M.Psi., Ph.D., Psikolog, Dosen Program Studi Psikologi, Institut Kesehatan Helvetia Medan (IKH Medan), melaksanakan program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) dengan tema “Komunikasi Efektif Pada Pasangan Muda untuk Mengatasi Pola Emotional Abuse dan Menumbuhkan Family Well-Being.”  Sabtu (22/11).

Pernikahan maupun hubungan romantis pada pasangan muda memiliki dinamika unik dan rentan memunculkan pola hubungan tidak sehat apabila komunikasi tidak berjalan dengan baik.

Bentuk emotional abuse sering kali muncul dalam bentuk penghinaan, merendahkan pasangan, pengontrolan, ancaman, hingga praktik gaslighting, yang merusak kondisi psikologis korban tanpa meninggalkan tanda fisik.

Menurut laporan GOOD Stat per 4 September 2025, tercatat 10.240 kasus kekerasan psikis/KDRT secara nasional.

Angka tersebut menggambarkan bahwa kekerasan emosional merupakan persoalan serius yang memerlukan perhatian dan intervensi berkelanjutan, terutama pada pasangan muda yang sedang membangun rumah tangga.

Dalam kegiatan PkM ini, Miskah Afriani menegaskan bahwa komunikasi efektif adalah salah satu kunci utama dalam mencegah emotional abuse. Melalui komunikasi asertif, pasangan dapat:

  • Menyampaikan perasaan tanpa menyerang,
  • Mendengarkan secara aktif,
  • Menghormati batasan pribadi,
  • Mengelola emosi secara sehat,
  • Membangun kepercayaan dan rasa aman dalam hubungan.

Ia juga memperkenalkan strategi Collaborative Communication seperti menentukan waktu khusus untuk membahas konflik (conflict appointment) serta menyepakati rules of communication, antara lain tidak meninggikan suara, tidak membuka kembali kesalahan lama, tidak meninggalkan ruangan tanpa kesepakatan, dan memberi ruang bicara yang seimbang.

“Ketika pasangan memahami cara berbicara dan cara mendengarkan, tensi konflik menurun secara signifikan. Komunikasi efektif bukan hanya alat untuk menghindari pertengkaran, tetapi fondasi untuk membangun keluarga yang aman, suportif, dan sejahtera,” ujar Miskah.

Program edukasi ini diharapkan menjadi upaya konkret dalam meningkatkan literasi komunikasi keluarga di Indonesia serta mendorong terciptanya hubungan yang sehat, setara, dan bebas dari kekerasan.