Putusan Perpanjangan Masa Jabatan Langsung Berlaku untuk Firli dkk, Ini Penjelasan MK

Langkatoday.com – Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (Jubir MK) Fajar Laksono mengatakan bahwa putusan majelis hakim MK yang memperpanjang masa jabatan dari empat tahun menjadi lima tahun langsung berlaku untuk pimpinan KPK periode 2019-2023. Sehingga, Firli Bahuri dkk pun akan menjabat sampai 2024.

“Pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan 4 tahun, dan akan berakhir pada Desember 2023, diperpanjang masa jabatannya selama 1 tahun ke depan hingga genap menjadi 5 tahun,” tutur Fajar di Jakarta, Jumat (26/5/2023).

Fajar mengatakan bahwa pertimbangan mengenai berlakunya Putusan 112/PUU-XX/2022 bagi pimpinan KPK saat ini tercantum dalam pertimbangan yang dibacakan oleh majelis hakim. Majelis hakim mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023, yang tinggal kurang lebih enam bulan lagi. Pihak MK menilai penting untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.

Oleh karena itu, MK menyegerakan memutus perkara 112/PUU-XX/2022 guna memberikan kepastian masa jabatan pimpinan KPK periode ini. Lantas, MK memutus untuk mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.

“Sebagaimana diatur dalam UU MK, putusan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan,” kata Fajar.

Selain terhadap pimpinan KPK, Fajar juga mengatakan bahwa Putusan 112/PUU-XX-2022 mengenai perubahan masa jabatan menjadi lima tahun juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK yang saat ini juga memiliki durasi menjabat selama empat tahun.

“Perubahan masa jabatan menjadi lima tahun juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK,” ucapnya.

Sebelumnya, Majelis hakim MK menyatakan, bahwa masa jabatan KPK selama 4 tahun adalah tidak konstitusional, dan mengubahnya menjadi 5 tahun. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, dipantau dari Jakarta, Kamis (25/5/2023).

MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang semua berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Dengan demikian, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Sepanjang tidak dimaknai, ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan’,” ujar Anwar Usman.

Sebelumnya, Ghufron mulanya mengajukan uji materi Pasal 29 (e) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 30 Tahun 2002 (UU KPK) soal batas umur minimal Pimpinan KPK. Belakangan terdapat permohonan lain berupa perpanjangan masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun atau berakhir pasca pemilu 2024.

Ghufron berdalih alasan meminta penambahan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun karena masa pemerintahan di Indonesia yang ditentukan dalam Pasal 7 UUD RI Tahun 1945 adalah lima tahun.

Oleh karena itu, dia menilai seluruh periodisasi pemerintahan semestinya juga selaras dengan ketentuan itu. Dia menilai, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia seperti Komnas HAM, KY, KPU.

Ghufron berterima kasih atas putusan MK.

“Sebagai pemohon, saya menyampaikan alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT, karena MK telah memutuskan menerima seluruh permohonan judicial review saya,” kata Ghufron saat dikonfirmasi, Kamis (25/5/2023).

Selain itu, Ghufron juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah turut memberikan pandangan, baik pro maupun kontra. Menurut dia, keputusan ini menjadi bukti kemewahan dalam berdemokrasi di Indonesia.

“Ini bukti bahwa ketidaksetujuan dan pro kontra adalah sahabat dalam proses pencarian keadilan dalam negara berkonstitusi UUD 1945,” ujar Ghufron.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengaku tidak terlalu ambil pusing dengan putusan tersebut. “(Saya) enggak mikirin dan enggak berharap diperpanjang. Saya (juga) enggak ikut-ikutan mengajukan permohonan JR (judicial review) ke MK,” kata Alex kepada wartawan, Kamis (25/5/2023).

Alex pun enggan mengomentari lebih jauh mengenai penambahan masa jabatan tersebut. Dia justru menyebut, saat ini dirinya sudah bersiap untuk pensiun.

“Saya sudah lebih lima tahun di KPK. Sudah siap-siap pensiun akhir tahun ini,” ujar Alex.

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, membingungkan. Sebab, mengubah masa jabatan pimpinan sebuah lembaga negara seharusnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini adalah DPR dan pemerintah.

Sebelum adanya putusan MK tersebut, masa jabat pimpinan KPK diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

“Cukup surprised putusan MK, butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU,” ujar Didik saat dihubungi, Jumat (26/5/2023).

“Apakah implikasi putusan tersebut ke depan terhadap berbagai pengaturan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki pembentuk UU yang mengatur hal serupa, jika dihadapkan kepada kepada kewenangan MK sebagai final interpretator UUD?” sambung Didik bertanya.

Putusan yang memperpanjang masa jabat pimpinan KPK dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

“Pembentuk undang-undanglah yang diberikan hak dan kebebasan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya,” ujar Didik.

Jelasnya, suatu kebijakan pembentukan hukum dapat dikatakan bersifat terbuka manakala Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang.

Namun jika ratio decidendi atau alasan putusan MK ini dititikberatkan kepada alasan keadilan, ia mempertanyakan putusan MK lain yang serupa. Salah satunya adalah putusan terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang justru tak menggambarkan keadilan.

“Saya paham, MK sebagai the guardian of constitution diartikan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi. Sedangkan MK sebagai the final interpreter of constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, kecuali MK,” ujar Didik.

“Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh MK, harusnya MK tidak boleh bertindak sebagai tirani justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. MK harus menjadi constitutional court dan bukan interest court atau bahkan political court,” sambung politikus Partai Demokrat itu.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati MK yang memutuskan menerima gugatan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia menilai bahwa putusan tersebut mempunyai konsekuensi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebab, masih ada perdebatan apakah putusan MK tersebut berlaku kepada pimpinan KPK saat ini atau periode berikutnya. Putusan ini juga tentu membuka peluang kembali direvisinya UU KPK, khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK.

“Terkait dengan putusan MK itu sendiri, saya melihat berarti perlu segera ada revisi UU KPK lagi. Selain tentunya kami harus mendiskusikan apakah putusan MK ini berlaku untuk KPK periode sekarang atau periode ke depan,” ujar Arsul saat dihubungi, Kamis (25/5/2023).

Bacaan Lainnya: