Langkatoday.com – Jumlah korban tewas akibat gempa Turki-Suriah terus bertambah dan per Jumat (10/12) telah mencapai 21.051 jiwa.
Di Turki, pihak berwenang memaparkan jumlah orang meninggal dunia akibat gempa berkekuatan magnitudo 7,7 telah mencapai 17.674 jiwa. Sementara itu, jumlah orang terluka akibat gempa paling dahsyat selama 100 tahun terakhir itu mencapai lebih dari 70 ribu orang.
Di negara tetangga, Suriah, korban tewas akibat gempa itu pun telah mencapai 5.245 orang dengan ribuan orang lainnya yang terluka.
Sejauh ini, korban tewas di Turki lebih dari tiga kali lipat korban tewas di Suriah. Mengapa demikian?
Salah satu alasannya adalah karena episentrum gempa ini berada di Provinsi Gaziantep, Turki, yang berada di perbatasan kedua negara.
Sementara itu, Provinsi Gaziantep merupakan salah satu provinsi yang padat penduduk. Selain itu, bangunan-bangunan di wilayah ini juga tidak tahan gempa.
Kombinasi semua itu lah yang membuat korban tewas di Turki jauh lebih banyak dibandingkan di Suriah.
“Gempa bumi tidak hanya sangat kuat, tetapi juga terjadi secara beruntun,” kata Pakar sekaligus Presiden Asosiasi Retrofit Gempa Turki, Sinan Turkkan, seperti dikutip Al Jazeera.
Ia kemudian berujar, “Banyak bangunan hanya mengalami kerusakan ringan hingga sedang saat gempa pertama, tetapi runtuh setelah gempa kedua.”
Survei Geologi Amerika Serikat (United States Geological Survey/ USGS) mencatat setidaknya 100 gempa susulan terjadi tak lama setelah gempa pertama magnitudo 7,7 mengguncang. Salah satu gempa susulan itu bahkan tak kalah besar yakni yang tertinggi bermagnitudo 7,5 dan berada 10 kilometer di bawah permukaan bumi.
Tak hanya menelan korban jiwa, gempa menyebabkan sekitar 6.000 hingga 7.000 bangunan runtuh, termasuk apartemen. dan menyebabkan banyak orang tertimbun dalam keruntuhan.
“Tak ada gempa yang menyebabkan kerusakan sebanyak itu jika semua bangunan memenuhi standar,” lanjut Turkkan.
Sebagian besar gedung yang runtuh dibangun sebelum 1999, saat gempa gempa berkekuatan magnitudo 7,6 melanda Marmara.
Sejak itu, pemerintah meningkatkan kode desain seismik Turki secara signifikan pada 2008. Mereka juga memulai proyek transformasi perkotaan untuk mempersiapkan Turki menghadapi gempa selanjutnya.
Namun, bagi Turkkan upaya ambisius itu tak mampu mencegah bencana.
“Di atas kertas, kode desain seismik Turki memenuhi standar global, sebenarnya lebih baik dari kebanyakan. Namun dalam praktiknya, situasinya sangat berbeda,” ujar dia.
Pemerintah Turki juga menawarkan insentif keuangan tetapi tidak mewajibkan partisipasi masyarakat dalam proyek transformasi perkotaan.
Artinya, hanya orang-orang tertentu yang mampu mengeluarkan uang lebih dan sepakat menghancurkan properti lama mereka demi membangun kembali tempat tinggal mereka sesuai standar terbaru.
Sementara itu, banyak yang tak mau mengeluarkan uang untuk pekerjaan pembangunan kembali atau bala bantuan yang tampaknya tidak mendesak.
Itulah sebabnya, kata para ahli, lebih dari 20 tahun setelah gempa Marmara, Turki masih penuh dengan gedung dan bangunan yang dibangun tak tahan gempa.
Menurut Turkkan, jika pihak berwenang Turki berhasil melibatkan semua pihak termasuk masyarakat, mereka bisa memperkuat atau membangun kembali semua bangunan yang rusak dalam 20 tahun terakhir.
“Kami dapat menyelamatkan setidaknya 5.000 bangunan yang hilang pada hari Senin dari kehancuran total. Kami bisa menyelamatkan begitu banyak nyawa,” ujar dia lagi.
Sementara itu di Suriah, gempa menerjang sebagian besar wilayah utara yang berbatasan dengan Turki. Wilayah ini kebanyakan dikuasai kelompok pemberontak dan tidak masuk daerah padat penduduk.
Sebab, sebagian besar penduduk sudah mengungsi ke luar wilayah-wilayah itu untuk menghindari perang sipil yang telah berkecamuk sejak 2011. Meski begitu, kondisi dan standar bangunan di Suriah juga tak jauh berbeda dengan di Turki.
Hampir sebagian besar bangunan di Suriah terutama di luar perkotaan tidak memiliki standar gempa. (rel/cnn)