JAKARTA (Langkatoday) – Fenomena menyusutnya kelas menengah di Indonesia masih menjadi salah satu topik hangat yang dibahas. Menariknya, di tengah fenomena tersebut minat terhadap perjalanan wisata tetap tumbuh. Guru besar bidang manajemen di Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali menilai hal ini lantaran telah terjadi perubahan pengertian konsumsi di masyarakat.
“Kalau dulu konsumsi kita pergi ke alam karena ingin menikmati, kalau sekarang masyrakat kita juga ada sebagian kelompok yang sekarang di drive konsumsinya karena tidak ingin ketinggalan bahasa kerennya disebutnya FOMO (fear of missing out),” ujar Rhenald dalam keterangannya yang dikutip Rabu (25/9).
Bahkan, lanjut Rhenald, untuk melakukan perjalanan wisata cukup menggerus kantong kelas menengah. Karena, setiap orang bisa mengeluarkan dana mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu dalam satu kali perjalanan wisata.
“Sebagian besar mereka (kelas menengah) menggunakan sepeda motor dan mereka juga membuat konten. Jadi memang konsumsi didasari oleh rasa tidak ingin ketinggalan,” tuturnya.
Pada akhirnya, sambung Rhenald, dapat terlihat perbedaaan antara analisa ekonomi dan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat lantaran dorongan FOMO yang begitu kuat. Dalam bisnis ada dua hal yang sangat berbeda antara daya beli dan keinginan membeli.
“Daya beli dan keinginan membeli adalah dua hal yang berbeda, yang dianalisa adalah daya beli, tapi keinginan membeli itu bukanlah purchasing power, tapi itu adalah satu willingness to pay, jadi orang kalau sudah ingin bisa menggunakan berbagai hal, seperti pinjaman atau pinjam dengan orang-orang yang dikenal atau banyak juga yang menggunakan paylater,” jelas Rhenald.
Consumer Business Community Manager Bank Jago Edo Velandika menyebut untuk menghindari perilaku FOMO terdapat tiga kunci utama dalan pengelolaan keuangan yakni 3F atau fix, fun, and future.
Konsep dasar ini merujuk pada tiga kriteria anggaran yang harus dipahami dalam membuat perencanaan keuangan.
“Fix berarti memisahkan pengeluaran yang bersifat pasti atau fixed cost, seperti biaya makan, cicilan atau sewa tempat tinggal, dan pengeluaran lain yang bersifat wajib. Ini biasanya sekitar 50 persen dari total penghasilan bulanan,” terangnya.
Kemudian, pos anggaran untuk fun atau bersenang-senang yang merupakan alokasi dana untuk kegiatan seperti nonton film atau konser musik, hobi, olahraga, maupun liburan atau traveling.
“Anggaran ini kalau dikeluarkan bisa bikin senang, tetapi kalaupun tidak ya tidak apa-apa juga. Untuk fun budget ini usahakan tidak lebih dari 30 persen dari total penghasilan,” anjur Dika.
Terakhir adalah future, yaitu alokasi dana yang dipersiapkan sejak dini untuk memenuhi kebutuhan yang tak terduga dan sesuatu yang bersifat jangka panjang atau untuk masa depan. Misalnya, dana darurat, dana pensiun, atau biaya untuk melanjutkan pendidikan.
“Anggaran future setidaknya memiliki alokasi 20 persen dari total penghasilan,” tuturnya.
Menurut Dika, yang terpenting dalam pengelolaan keuangan bukanlah seberapa besar nominal yang ingin dicapai tetapi lebih kepada membangun kebiasaan finansial yang baik. Untuk itu, perlu menetapkan target-target keuangan pribadi secara cermat dan realistis, merinci dan mengkalkulasi anggaran yang sifatnya pasti atau rutin, serta membuat alokasi anggaran.
Jika penghasilan bulanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, Dika merekomendasikan untuk mencari sumber penghasilan lain, seperti pekerjaan sampingan atau memulai bisnis. Kemudian jika penghasilan bulanan sudah lebih dari cukup, mulailah berinvestasi sejak dini dan mulailah dari jumlah yang kecil dengan konsisten dan teratur.***