Piala Dunia 2022: Bagaimana Geopolitik Membuat Sponsor Tak Lagi Soal Jual Minuman?

Sponsor Piala Dunia kini tak lagi soal penjualan bir. Unsur geopolitik kental dalam turnamen akbar yang tahun ini digelar oleh Qatar tersebut. freepik/freepik, CC BY-SA

LANGKATODAY.COM – Piala Dunia FIFA 2022 di Qatar menjadi turnamen bola global yang paling kental nuansa politiknya sepanjang sejarah.

Unsur geopolitik bahkan mengambil posisi sentral dalam penampilan bintang pop Korea Selatan Jung Kook – yang tampaknya nir-kepentingan – pada upacara pembukaan perhelatan akbar tersebut. Jung Kook, 25, bukan sekadar pria muda tampan dengan basis fan global dan kekayaan melimpah. Ia juga memiliki kesepakatan endorsement yang menggiurkan dengan perusahaan otomotif Korea Selatan Hyundai-Kia, yang juga merupakan sponsor besar FIFA.

Hubungan semacam ini bukan kebetulan atau sekadar urusan bisnis sederhana. Selama bertahun-tahun, Pemerintah Korea Selatan menerapkan strategi untuk membangun dan memproyeksikan “soft power” mereka. Negara tersebut mengembangkan keterikatan dengan audiens sasaran mereka di seluruh penjuru dunia. Tak hanya lewat sepak bola, musik, dan mobil – ini juga dilakukan lewat film seperti Parasite yang berhasil menyabet Piala Oscar hingga serial TV populer seperti Squid Games.

Korea Selatan bukan satu-satunya yang mengambil keuntungan dari audiens yang disediakan FIFA. Walau penjual minuman ringan dan burger masih jadi bagian dari daftar sponsor organisasi sepak bola dunia tersebut, kini makin banyak mitra kunci FIFA yang merupakan perusahaan besar dari negara-negara yang bertekad memperluas jangkauan mereka lewat kepopuleran sepak bola.

Qatar Airways yang jadi mitra resmi penerbangan FIFA, misalnya, tak hanya sibuk berjualan tiket pesawat. Maskapai milik pemerintah Qatar ini juga memainkan peran penting dalam upaya negaranya untuk menjadikan Bandar Udara Internasional Hamad salah satu hub utama perjalanan global.

Maskapai pemenang penghargaan tersebut menjadi instrumen soft power yang efektif untuk menyampaikan kepada audiens global mengenai apa itu Qatar dan ingin menjadi seperti apa negara itu. Pada gilirannya, Qatar Airways, dan aksi Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, adalah ilistrasi bagaimana sebuah negara berkeinginan untuk menceritakan kepada dunia tentang dirinya – bahwa ia adalah bagian sah, terpercaya, dan penting dari komunitas internasional.

Hal yang sama juga berlaku bagi Cina, walaupun sektor olahraga dan industrinya tersendat semenjak pandemi. Empat sponsor penting Piala Dunia – mulai dari elektronik (Hisense), gawai (Vivo), produk susu (Mengiu) dan apa pun mulai dari properti hingga media (Wanda) – berasal dari Cina. Daftar ini penting bagi negara yang berharap untuk suatu hari dapat menjadi tuan rumah perhelatan akbar tersebut dan menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia.

Pembangkangan Beralasan

Di samping sponsor utama Piala Dunia, terdapat sebuah tradisi dari kompetitor bisnis untuk melakukan metode pemasaran “ambush” (penyergapan) selama berlangsungnya turnamen. Ini merujuk pada bagaimana berbagai merek menggunakan Piala Dunia sebagai alat pemasaran – tanpa harus merogoh sejumlah besar kocek jika menggunakan jalur resmi (FIFA dikabarkan mengenakan biaya US$100 juta (Rp 1,54 triliun) untuk kesepakatan sponsor selama empat tahun).

Salah satu aksi penyergapan yang cukup sukses dilakukan oleh Bavaria Beer, lewat kampanye provokatif pada Piala Dunia 2006 di Jerman dan lagi pada turnamen berikutnya di Afrika Selatan pada 2010. Caranya, perusahaan melibatkan penonton yang menggunakan baju dengan logo mereka, diselundupkan masuk ke stadium. Aksi ini menarik perhatian besar dunia dan tentunya membuat frustrasi Budweiser sebagai merek bir “resmi” Piala Dunia.

Tapi bahkan metode pemasaran ambush ini pun telah terpapar unsur geopolitik. Contohnya, pada Piala Dunia tahun ini, otoritas dari Dubai berusaha mengalihkan perhatian dari Qatar melalui kampanye wisata yang menampilkan bintang-bintang sepak bola. Mereka bahkan mengadakan turnamen sepak bolanya sendiri – bersamaan dengan berlangsungnya Piala Dunia – dengan turut melibatkan klub besar seperti Liverpool, AC Milan, dan Arsenal.

Dan jika pada 2010 Bavaria Beer menggunakan sekumpulan perempuan berpakaian oranye dalam aksinya, perusahaan bir dan rantai pub BrewDog asal Inggris menggunakan kampanye pemasaran “anti-Piala Dunia” untuk menarik perhatian.

Lewat sejumlah papan reklame yang dipajang di negaranya sendiri, BrewDog merujuk pada otokrasi, pelanggaran HAM, dan korupsi yang ditargetkan pada konsumen yang tak nyaman dengan Qatar menjadi tuan rumah turnamen sepak bola terbesar dunia. Walaupun tujuan akhirnya tetap mengantungi keuntungan dengan berjualan bir, BrewDog berkontribusi pada transformasi periklanan dan sponsor dari sekadar pemasaran sederhana menjadi postur geopolitik.

Senada, perusahaan pakaian olahraga Hummel memutuskan untuk menyamarkan nama, logo dan lambang asosiasi sepak bola Denmark dari produk-produknya. Ini merupakan bentuk protes terhadap perlakuan Qatar terhadap pekerja migran, sekaligus bentuk dukungan terhadap komunitas LGBTQ+.

Dalam penyataan misi perusahaan, Hummel menekankan komitmen “ke-Denmark-annya” (Danishness). Dan memang, Denmark memang sangat vokal dalam mencecar Qatar. Dengan menempuh langkah ini, tim nasional Denmark akan secara langsung mengkritik sang tuan rumah Piala Dunia tiap kali mereka turun lapangan.

Simpulannya, ambisi mahal Qatar dalam menyelenggarakan turnamen besar ini berhadapan dengan kritik dan protes dari negara-negara maupun perusahaan. Tahun ini, tampaknya sponsor sepak bola tak lagi soal berjualan. Kemana pun kita menengok, selalu ada poin geopolitik untuk digolkan.The Conversation

Simon Chadwick, Professor of Sport and Geopolitical Economy, SKEMA Business School

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Bacaan Lainnya: