Langkatoday.com, Stabat – Aparat Penegak Hukum (APH) di Langkat diminta mengusut tuntas dugaan proyek fiktif aplikasi sistem informasi dan adminitrasi desa digital tahun 2023. Pihak terkait harus dipanggil termasuk pihak ketiga atau CV yang mengerjakan.
Ketua Gema Pengacara Ranggalawe (GEMPAR), Muhammad Mualimin SH MH mengatakan kalau di tingkat desa, ini lebih pas kalau yang mengusut Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat karena terkait dugaan adanya kerugian keuangan negara. Dan pembuktiannya mudah saja sebenarnya.
“Yang pertama tentu kepala desa-kepala desa yang mendapat proyek harus dipanggil Kejari, harus dipastikan apakah sudah menerima anggaran. Lalu, mana proyeknya, sudah jadi belum, dan siapa yang mengerjakan. Kalau sudah terima anggaran tapi proyek tidak jalan, maka di situ sudah ada unsur kerugian negara,” kata Mualimin di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024.
Menurutnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, tak perlu turun, karena ada Kejari Langkat, Polisi dan KPK.
“Kalau Menteri tidak perlu karena ini skalanya hanya di desa. Namun Polres Langkat dan KPK dapat ikut terlibat manakala Kejaksaan Negeri tidak mampu menyelesaikan,” kata pengurus Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) itu.
Pj Bupati Langkat berhak untuk mempertanyakan dugaan proyek fiktif kepada Kades, Kadis PMD Langkat dan pihak terkait, jangan ada yang ‘lempar bola’. Keuangan negara mesti diselamatkan.
“Mestinya, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Langkat dan jajarannya tidak boleh lepas tangan. Ketika telah mencairkan anggaran, Dinas tetap harus mengawal dan mengawasi seperti apa progres penggunaan anggaran karena itu menyangkut keuangan daerah atau APBD. Tidak boleh dinas atau bupati cuci tangan, fungsi pengawasan harus berjalan,” kata Mualimin yang merupakan Pengurus Bidang Hukum dan HAM MN KAHMI.
Kalau terjadi mandeg atau mangkrak, Mualimin meminta Inspektorat Langkat harus bergerak cepat demi memastikan tugasnya berjalan.
“Karena kasus-kasus proyek yang diduga fiktif atau mangkrak selalu mengakibatkan kerugian negara yang berpotensi besar melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” jelasnya.
Pasal-pasal di atas, lanjutnya, ancaman pidananya maksimal 20 tahun penjara. (rel/pr)