Scroll untuk baca artikel
langkatoday.com
Web Hosting
Web Hosting
langkatoday.com
ArtikelPendidikan

Kuliah Susah dan Mahal, tetapi Mengapa Gaji Dosen Belum Layak?

Avatar photo
×

Kuliah Susah dan Mahal, tetapi Mengapa Gaji Dosen Belum Layak?

Sebarkan artikel ini

Ikuti kami di Google News dan WhatsApp Channel

Apa yang bisa dipelajari dari artikel ini?

  1. Gaji dosen masih jauh dari upah layak, benarkah?
  2. Jika hanya mengandalkan dari kampus, apakah pendapatan dosen sudah layak?
  3. Jika situasinya demikian, masih menarikkah menjadi dosen di Indonesia?
  4. Pemerintah sedang merancang aturan peningkatan kesejahteraan dosen, benarkah?

Gaji dosen masih jauh dari upah layak, benarkah?

Tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2024, Serikat Pekerja Kampus atau SPK yang beranggotakan 400 dosen dan tenaga kependidikan di perguruan tinggi meluncurkan policy brief berjudul ”Gaji Minimum, Beban Kerja Maksimum”. Dalam pernyataannya, SPK menggugat nasib kesejahteraan dosen dan staf pendidikan perguruan tinggi yang masih jauh dari ideal.

Scroll untuk baca artikel
Scroll untuk baca artikel

Pada kuartal pertama 2023, SPK melakukan penelitian yang mengungkap hasil cukup mencengangkan. Mayoritas dosen yang mereka survei ternyata hanya bergaji bersih kurang dari Rp 3 juta per bulan meski mereka sudah bekerja lebih dari enam tahun. Bahkan, nasib dosen-dosen di perguruan tinggi swasta lebih parah karena ada yang menerima gaji bersih kurang dari Rp 2 juta per bulan.

Situasi ini akhirnya memaksa para dosen untuk mengambil pekerjaan-pekerjaan sambilan (76 persen responden). Akibatnya, fokus mereka pada tanggung jawab sebagai pengajar berkurang dan kualitas pengajaran kepada para mahasiswa pun turun.

Urgensi peningkatan kesejahteraan dosen bukan hanya untuk pemenuhan hak mereka saja, tetapi juga investasi penting untuk masa depan bangsa. Dengan memberikan gaji yang layak serta suasana kerja yang nyaman bagi dosen dan staf perguruan tinggi, bangsa ini sekaligus juga memberikan jaminan pendidikan yang berkualitas bagi generasi Indonesia ke depan.

Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Ketua Majelis Wali Amanah IPB University Prof Tridoyo Kusumastanto. Di akhir Sidang Terbuka Dies Natalis ke-60 IPB University di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor, Jumat (15/9/2023). | Foto: KOMPAS/NINA SUSILO

Jika hanya mengandalkan dari kampus, apakah pendapatan dosen sudah layak?

Sama seperti hasil pendataan SPK, survei daring yang digelar para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram (Unram) terhadap 1.200 partisipan dosen aktif juga menunjukkan, 42,9 persen dosen hanya menerima pendapatan tetap di bawah Rp 3 juta per bulan. Untuk menambal kebutuhan hidup, para dosen akhirnya mencari sumber pendapatan lain, seperti menjadi narasumber, mendapat insentif publikasi, serta honor insidental lainnya. Namun, 53,6 persen partisipan mengaku hanya mendapatkan pemasukan tambahan kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Kondisi ini tentu saja menimbulkan kegalauan di antara para dosen atau partisipan yang rata-rata berusia 26-35 tahun (63,5 persen), bergelar S-2 (82,2 persen), dan bekerja kurang dari 3 tahun (39,4 persen). Hal ini menunjukkan bahwa para dosen tidak bisa sekadar mengandalkan pendapatan dari kampus.

Pada akhirnya, para dosen pun ”berakrobat” untuk mencari pekerjaan-pekerjaan sampingan lain di luar kampus yang lebih banyak, mulai dari menjadi konsultan, mengerjakan proyek-proyek khusus, menjadi tenaga ahli, ghost writer, bahkan komisaris. Kondisi ini tentu menjadi tidak ideal untuk menciptakan iklim akademik yang baik, karena dosen juga harus membimbing secara intens para mahasiswa, melakukan penelitian, menulis publikasi, dan menunaikan pengabdian kepada masyarakat.

Jika situasinya demikian, masih menarikkah menjadi dosen di Indonesia?

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Didi Achjari dalam opininya di Kompas.id, 15 Mei 2023, memberikan masukan untuk pembuatan peraturan baru bagi dosen, mengingat profesi sebagai dosen di Indonesia semakin tidak menarik karena permasalahan di dalamnya yang sangat pelik.

Menurut Didi, kegaduhan tentang jabatan fungsional telah membuka kotak pandora permasalahan dosen. Menyikapi hal ini, pemerintah berencana membuat peraturan baru untuk dosen yang sifatnya lex specialis.

Didi beranggapan, rencana pembuatan peraturan khusus untuk dosen adalah kesempatan emas untuk memperbaiki nasib dosen. Diharapkan, peraturan tersebut bisa mengembalikan lagi ketertarikan generasi muda terhadap profesi dosen di Indonesia yang belakangan semakin tidak menarik.

Pemerintah sedang merancang aturan peningkatan kesejahteraan dosen, benarkah?

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Abdul Haris, dalam acara Diseminasi Kenaikan Jabatan Akademik Dosen serta Rumpun Ilmu, di Jakarta, Kamis (20/6), mengatakan, saat ini ada penyelarasan terkait karier dosen dan rumpun ilmu yang perlu dipahami sebagai ruang fleksibilitas yang terbuka bagi perguruan tinggi mengembangkan keilmuan. Selain itu, memberikan ruang bagi guru besar di perguruan tinggi untuk saling mendukung, tidak hanya satu disiplin ilmu, tetapi juga terbuka untuk jabatan fungsional guru besar yang multidisiplin.

Menurut Haris, aturan kenaikan jabatan akademik dosen merupakan komitmen negara untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik.

”Direncanakan nanti di permendikbudristek sehingga memberi oase peningkatan kesejahteraan dosen. Apalagi, dalam 17 tahun terakhir, kita dihadapkan dengan krisis ekonomi dan pandemi sehingga pastinya terjadi banyak inflasi terhadap harga,” kata Haris. (rel/kompas)

www.domainesia.com