Perumahan The Vajra

Kisah Pegawai VOC yang Dibuang ke Pulau Terpencil Karena Sodomi

Table of Contents

JAKARTA (Langkatoday) - Pada 1725, seorang pegawai VOC bernama Leendert Hasenbosch harus menjalani hukuman ditinggalkan di sebuah pulau terpencil tak berpenghuni di tengah Samudera Atlantik karena dituduh melakukan sodomi.

Pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu ditinggalkan di pulau tersebut hanya berbekal sebuah tenda, satu tong kecil air, alkitab, pena dan kertas serta beberapa barang lainnya.

Dalam keterpencilan Pulau Ascension ini, dia diperkirakan hanya mampu bertahan hidup selama kurang lebih 6 bulan saja.

Perkiraan tersebut diperoleh lewat sebuah buku catatan harian yang ditemukan oleh awak kapal Inggris, Compton, yang mendarat di Pulau Ascension pada awal 1726.

Catatan dalam buku tersebut mulai ditulis pada 5 Mei 1725 saat terpidana diturunkan di pulau yang letaknya berada di Samudera Atlantik bagian selatan, persisnya di antara Amerika Selatan dengan Afrika. Sedangkan catatan terakhir ditulis pada Oktober 1725.

Dalam bab IV bukunya, Alex Ritsema menjelaskan latar belakang kehidupan Leendert Hasenbosch. Dilahirkan di Den Haag sekitar 1695, Leendert Hasenbosch adalah satu-satunya putra dari lima orang anak pasangan Johannnes Hasenbosch dan Maria van Bergende.

Keluarga ini sebelumnya adalah penganut Katolik Roma, kemudian pindah memeluk Kristen Protestan setelah puteri mereka, Helena, meninggal saat masih bayi pada 1694. Johannes saat itu berprofesi sebagai pedagang.

Setelah kematian istrinya pada 1708 Johannnes pindah ke Batavia dengan membawa ketiga putrinya. Leendert yang kala itu berusia sekitar 14 tahun ditinggalkan di Belanda.

Tidak diketahui dengan siapa Leendert tinggal di Belanda, informasi mengenai Leendert muncul kembali setelah ia mendaftar menjadi prajurit VOC pada 1713 saat usianya sekitar 18 tahun.

Leendert tiba di Hindia Belanda pada tanggal 13 Agustus 1714 dengan menggunakan kapal “Corssloot” dan bertugas sebagai penjaga di Kastil Batavia.

Tak ditemukan catatan rinci mengenai kegiatan kesehariannya saat itu. Namun patut diduga jika Leendert sesekali berjumpa dengan ayah dan saudarinya seperti yang mungkin terjadi ketika adik perempuannya, Maria, membaptis anaknya pada 1 Januari 1715 di Gereja Portugis.

Acara tersebut dihadiri ayah dan kakak tertua Leendert, Johannnes Hasenbosch dan Cornelia, yang menjadi saksi. Saat itu Johannnes Hasenbosch telah menjadi pengurus gereja yang saat ini dikenal sebagai Gereja Sion.

Bulan September 1715, Leendert Hasenbosch dikirimkan ke India untuk membantu pasukan yang memadamkan perlawanan di daerah Cochin di Pantai Malabar.

Ketika bertugas di India inilah Leendert menyumbangkan seluruh gajinya sebesar 75 gulden untuk pembangunan rumah bagi penderita lepra di Cochin yang diberi nama “Lazarus”.

Leendert bertugas selama 5 tahun di India dan ketika kembali bertugas di Batavia pangkatnya dinaikkan menjadi kopral. Pada 1722 ia dipromosikan menjadi juru tulis militer dan gajinya kembali naik.

Jika di India Leendert menyumbangkan gajinya untuk kebaikan, pada Agustus 1722 ia menyerahkan gajinya sejumlah 287 gulden kepada seorang pria bernama Jan Becker yang tinggal di Belanda. Jan Becker kemudian mengambil uang gaji Leendert tersebut setahun kemudian di hadapan notaris dan saksi yang menjadi wakilnya.

Sepertinya Leendert harus memberikan gajinya sebagai ganti rugi untuk suatu hal yang dilakukannya dulu ketika masih tinggal di Belanda. Mungkinkah hal itu terkait dengan perilaku seks? Tak ada catatan rinci mengenai hal itu. Yang jelas Leendert memutuskan untuk kembali ke Belanda pada 1725.

Saat kapal yang membawanya pulang ke kampung halamannya singgah di Cape Town, Leendert Hasenbosch diputuskan bersalah atas prilaku sodomi. Tak diketahui nasib yang menimpa lelaki lainnya, tetapi Leendert harus mengalami siksaan bertahan hidup sendirian di Pulau Ascension.

Pulau Ascension saat itu adalah neraka di bumi. Keterpencilan dan ketersediaan air tawar sangatlah terbatas. Leendert mencoba bertahan hidup dengan memburu dan memakan penyu, camar laut dan burung-burung laut lainnya.

Untuk menghemat persediaan air tawar, ia terkadang mencampur darah penyu dengan teh. Bahkan ketika air tawarnya mulai habis ia meminum air seninya sendiri.

Rasa haus dan dehidrasi yang mengakhiri hidupnya. Kru kapal Inggris Campton yang mendarat di Pulau Ascension untuk memperbaiki dan menambah persediaan makanan hanya menemukan tenda kosong di tepi pantai dan buku catatan harian. Walaupun telah dicari mayat Leendert tak pernah ditemukan.

Dalam catatan hariannya tergambar Leendert Hasenbosch tak hanya berjuang bertahan hidup, tetapi juga berkonflik dengan batinnya yang harus menanggung rasa bersalah. Dalam keputusasaan, ia terkadang mendengar suara-suara sumpah serapah tanpa wujud. Ia mengaku melihat penampakan orang-orang yang pernah melakukan dosa perbuatan sodomi bersamanya. Leendert terkadang berdoa agar Tuhan mengakhiri penderitaannya dan mengampuni semua dosanya di dunia. (red)

channel whastapp langkatoday
Sejasa Net