Menang dengan Cara Buruk adalah Kekalahan
Ilustrasi menang-kalah dalam bermain catur |
Oleh: Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi
Khodim Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik
GRESIK (Langkatoday) - Pada era sekarang, kehidupan dirasakan semakin keras dan kompetitif, hampir di segala bidang kehidupan. Kenyataan ini mengharuskan kita, untuk mempertinggi kapasitas dan kapabilitas agar bisa eksis, survive, dan dalam persaingan yang sangat ketat itu kita harus jadi pemenang (be winner), bukan pecundang (loser).
Perihal menjadi seseorang yang kompetitif sebenarnya sah-sah saja dan bahkan baik untuk memiliki motivasi lebih. Yang kurang baik adalah ketika kita terobsesi untuk menang dan tidak bisa melepaskan diri dari label kalah nan negatif tsb. Kita merasa terpukul, tidak menerima kenyataan, merasa diri tidak bisa melakukan hal benar, bahkan bisa sampai meningkatkan rasa iri hati yang terlewat batas hingga melancarkan segala cara untuk terlepas dari label tsb.
Cobalah sekarang kita pikirkan kembali, saat emosi meningkat kala kekalahan datang menghampiri. Banyak dari kita yang tidak bisa menerima kekalahan, pasti akan sering bersungut-sungut, mencari beragam alasan mengapa bisa kalah. Kemudian bisa saja menjadi sangat manipulatif dan membuat strategi, untuk mengubah keadaan demi tercapainya kemenangan. Memikirkan lalu menuruti emosi tsb, sebenarnya sudah tidak sehat. Apalagi benar-benar dilakukan. Rasa bersalah yg akan datang belakangan, akan jauh lebih membuat diri kalah dari kehidupan.
Abu Sa'id 'Abdul Malik bin Quraib Al-Aá¹£ma'i Al-Bahili atau Imam al-Ashma'i rahimahullah (121 - 216 H / 739 - 828 M Basrah Iraq), salah satu murid dari ulama besar ahli nahwu, Abu Abdirrahman Al-Khalil bin Ahmad bin 'Amru bin Tamim al-Farahidi al-Azadi al-Yahmadi atau Al-Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi atau Imam Al-Khalil rahimahullah (100-173 H / 718 M, Oman - 791 M, Basra, Irak). Imam Al-Ashma'i rahimahullah berkata, seorang Arab Badui pernah berpesan kepada anaknya:
ÙŠَا بُÙ†َÙŠَّ ، Ø¥ِÙ†َّ الْغَالِبَ بِالشَّرِّ، Ù‡ُÙˆَ الْÙ…َغْÙ„ُÙˆْب.
"Wahai anakku, sesungguhnya seorang yang menang dengan cara yang buruk, pada hakikatnya dia kalah." (Kitab Ilal wa Ma'rifati Rijal Lil Imam Ahmad bin Hanbal, halaman 301).
Menang dengan cara yang buruk, bisa di istilah dalam perilaku kecurangan, tak sebatas perkara niaga saja. Itu juga bisa terkait dengan kehidupan orang di tengah keluarga, agama, masyarakat, dan negara.
Siapakah yang patut disebut sebagai pelaku kecurangan? Yakni seseorang atau sekelompok orang yang meminta keistimewaan, penghargaan, atau pelayanan bagi diri sendiri atau golongannya saja.
Terhadap orang lain atau golongan luarnya, mereka bersikap masa bodoh. Mereka bersikap partisan, bahkan ketika kewajibannya untuk bersikap seadil-adilnya dan se-transparan mungkin.
Kemenangan sejati, bukanlah kemenangan atas orang lain, dengan cara yang buruk. Namun, yang dinamakan kemenangan atas diri sendiri, berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, keangkuhan, dan semua beban yg menambat diri di tempat start.
Jerih payah untuk mengalahkan orang lain dengan segala cara, sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat yang ternoda.
Yang penting lagi untuk diketahui adalah rasa tidak terima kalah, dapat menghantui kita dengan rasa iri hati. Mencari dalih dan kambing hitam. Kemudian perasaan itu berkembang menjadi kebencian pada orang lain, karena seringnya membandingkan diri dgn orang lain.
Jangan. . Jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain, baik saat kalah atau bahkan menang. Bandingkanlah diri dgn diri kita sebelumnya. Sejauh apa progres yang sudah dijalani hingga bisa sampai di tahap tersebut. Label ‘menang’ hanyalah bonus. Jika memang kalah, ya sudah berarti belum waktunya. Butuh kesadaran dan rasa penerimaan hati.
Selama kita masih berkutat dan nafsu berusaha untuk dapat mengalahkan orang lain, apalagi sampai terniat ingin menjatuhkannya, maka hidup kita akan selalu merasa terancam. Kita menjadi was-was dan terjebak prasangka buruk, karena ada rasa takut dan kuatir, suatu waktu orang lain juga akan menjatuhkannya.
Ini pelajaran berharga bagi yang sadar diri, agar jangan pernah berusaha menyaingi orang lain, dengan cara yang buruk, karena hanya akan menghadirkan kepahitan, kegelisahan dan kegetiran. Semakin mengebu-gebu keinginan mengalahkan orang lain, maka akan semakin menciptakan rasa tidak nyaman dalam dirinya.
Ingatlah, kemenangan bukanlah segalanya, tapi kemauan untuk menang adalah segalanya, tentu dengan cara yang baik. Yang terpenting dari kehidupan bukanlah kemenangan, namun bagaimana bertanding dengan baik. Kemenangan sejati ialah menerima kekalahan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik. Kemenangan yang sesungguhnya, adalah ketika bermanfaat untuk sesama.
Untuk bersaing dalam kebaikan, kita harus menyiapkan dan melatih mental kita. Mental sebagai pemenang hendaknya menjadi watak dan karakter seorang muslim. Iman yang kuat, perjuangan yang tak kenal lelah (jihad), tahan uji dan kondisi dan kesabaran yang membaja (shabrun wa tsabat), disertai penyerahan diri secara total kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata (tawakkulun wa tawajjuhun ilallah) setelah berjuang dan berusaha, merupakan jalan kemenangan yang diajarkan Islam.
Seorang muslim agar memiliki kesiapan mental sebagai pemenang yg rendah hati, memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi, dan tidak memelihara sikap keluh kesah (blaming), apalagi sindrom rendah diri.
Untuk memiliki mentalitas pemenang, selain membutuhkan memiliki ilmu (knowledge) dan keterampilan tinggi (skillful), perlu membekali diri dengan empat kekuatan lain, visi atau cita-cita yang tinggi (himmah 'aliyah); keyakinan yang kuat (strong believe) bahwa apa yang dicita-citakan akan menjadi kenyataan. Termasuk keyakinan kemenangan itu atas pertolongan dari Allah Subhanahu wa ta'ala; keberanian (syaja`ah) dalam mencapai cita-cita (kemenangan); dan mental dan karakter pemenang sejati.
Menurut Al-Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i atau Imam Al-Ghazali rahimahullah (wafat 19 Desember 1111 M di Thus, Iran) bahwa keberanian termasuk salah satu keutamaan (fadilah) yang menjadi pangkal kebaikan dan kemenangan. Tak ada keberhasilan tanpa keberanian, baik dalam soal agama maupun dunia. Keberhasilan hanya milik orang-orang yang berani. Yaitu, keberanian dalam mengambil keputusan serta membela dan mempertahankan apa yang diyakini sebagai kebenaran apa pun risikonya.
Selain itu, salah satu karakter pemenang adalah menjadi pelaku atau pemain player (fa'il), bukan penonton, apalagi hanya objek tontonan (maf'ul). Sebab, hanya pemainlah yang berpeluang besar menjadi pemenang.
Maka, kembali pada perintah Alquran, kalau kita mau bersaing (QS al-Baqarah : 148), harus bersikap profesional, ihsan dan itqan (QS an-Naml : 88), hidup dan mati sebagai yang terbaik, dan the best (QS al-Mulk : 2). Semuanya merupakan pembelajaran, agar kita memiliki mental dan karakter sebagai pemenang, yang baik.